Kabupaten Pidie Jaya

Kabupaten Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Ibukotanya adalah Meureudu.
Kabupaten Pidie Jaya adalah 1 dari 16 usulan pemekaran kabupaten/kota yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2006.

Letak Geografi dan Topografi
Letak Georafi Kabupaten Pidie Jaya berada pada 4°54' 15,702"N  sampai  5° 18' 2,244" N  dan 96°1' 13,656"E   sampai 96°22'1,007"E. Secara Topografi Kabupaten Pidie Jaya berada pada ketinggian 0 mdpl s.d 2300 mdpl dengan tingkat kemiringan lahan antara 0 sampai 40%. Wilayah Kecamatan Jangkabuya secara keseluruhan merupakan dataran rendah antara 0 mdpl s.d 20 mdpl, Kecamatan Bandar Dua berada pada 10 mdpl s.d. 2300 mdpl sedangkan Kecamatan Ulim, Meurah Dua, Meureudu, Trienggadeng, Pante Raja, dan Bandar Baru berada pada 0 mdpl s.d 2.300 mdpl terbentang dari Pesisir Selat Malaka hingga Puncak Gunong Peuet Sagoe pada Gugusan Bukit Barisan. Secara keseluruhan Kabupaten Pidie Jaya rawan terhadap banjir dan erosi. Dari klasifikasi lereng, Kabupaten Pidie Jaya merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng sampai dengan 40%

Batas Wilayah
Utara     Selat Malaka
Selatan Kecamatan Tangse, Geumpang dan Mane (Kabupaten Pidie)
Barat     Kecamatan Glumpang Tiga, Glumpang Baro, dan Kembang Tanjong (Kabupaten Pidie)
Timur     Kecamatan Samalanga (Kabupaten Bireuen)

Sejarah
Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh. Sampai Kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.
Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (kini Malaysia) tahun 1613, dia singgah di Meureudu, menjumpai Teungku Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk. Ja Madainah. Dalam percaturan politik Kerajaan Aceh negeri Meureudu juga memegang peranan penting.
Hal itu sebegaimana tersebut dalam Qanun al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-undang Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K.F van Hangen dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di negeri Belanda. Dalam pasal 12 Qanun Al-Asyi disebutkan, Apabila uleebalang dalam negeri tidak menuruti hukum, maka sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri Meureudu, menyuruh pukul uleebalang negeri itu atau diserang dan uleebalang diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan harta serta rumahnya dirampas. Kutipan undang-undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam. Malah karena kemampuan tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah didirikan Sultan Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu.
Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke Semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai panglima perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan Pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan sultan di Meureudu.
Negeri Meureudu negeri yang langsung berada di bawah Kesultanan Aceh dengan status nanggroe bibeueh (negeri bebas-red). Di mana penduduk negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lumbung beras utama kerajaan. Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa definitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Sejak Meurah Johan Mahmud hingga kedatangan kolonial Belanda, negeri Meureudu telah diperintah oleh sembilan Teuku Chik, dan selama penjajahan Belanda, Landschap Meureudu telah diperintah oleh tiga orang Teuku Chik (Zelfbeestuurders). Kemudian pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu diubah satus menjadi Kewedanan (Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur. Selama zaman penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah oleh empat belas orang Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee sampai ke Panteraja. Setelah tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda, maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalakan Belanda itu dan menjadi penguasa baru di Aceh. Pada masa penjajahan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu Gun.
Sesudah melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi Pusat Kawedanan sekaligus pusat kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai kawedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada dibawah kontrol Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Kini daerah Kawedanan Meureudu menjelma menjadi Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu sebagai ibu kotanya.

Peta lokasi Kabupaten Pidie Jaya
--------------
Makna Lambang Daerah
Wadah Perisai: Perlindungan kepada segenap masyarakat Pidie Jaya dalam menghadapi berbagai tantangan guna menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Untaian Padi dan Rangkaian Tandan Kapas: Kemakmuran rakyat Pidie Jaya yang adil dan merata.
Buku/Kitab dan Pena: Peningkatan SDM atau cita-cita agar Kabupaten Pidie Jaya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
Rencong: Kepahlawanan dan keperkasaaan serta menjunjung tinggi nilai budaya leluhur.
Timbangan dan Neraca: Pemerintah yang adil di Kabupaten Pidie Jaya.
Kubah Masjid dengan Bintang Bulan: Syariat Islam yang merupakan falsafah hidup bagi masyarakat Pidie Jaya.
Delapan (8) Pintu di Bawah Kubah: Kabupaten Pidie Jaya memiliki delapan (8) kecamatan dalam wilayahnya.
Pita Merah bertuliskan "Pidie Jaya": Masyarakat Pidie Jaya berani manghadapi tantangan kemajuan daerah.
Warna Dasar Biru Tua: Potensi laut di seluruh wilayah Pidie Jaya.
Warna Dasar Biru Muda: Bagian atas bermakna warna angkasa yang bersih sebagai cita-cita warga Pidie Jaya

Daftar Kecamatan
Bandar Dua
Bandar Baru
Jangka Buya
Meurah Dua
Meureudu
Pante Raja
Trienggadeng
Ulim
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pidie_Jaya


Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007.